narasumber @MaxFM Waingapu |
Kampung Wai Liang, Desa
Mbatakapidu adalah tempat kelahiranku pada 13 september, 27 tahun silam. Laiknya
anak kampung kala itu, gembala ternak kerbau dan kambing adalah permainan yang
paling menyenangkan. Aktivitas rutin yang tak terlewatkan adalah menunggang
kerbau di pagi hari saat mengantar di padang rumput, hingga menggiring kerbau
pulang ke kandang pada sore hari.
Beternak adalah bagian integral
dari kegiatan bertani, oleh karena itu, pada saat musim hujan tiba, kakek dan
paman mulai mempersiapkan lahan, memperbaiki pagar, mengolah kebun yang siap
ditanami jagung dan kacang. Hanya dua varietas tanaman yang ditanam anggota keluarga di kampung kami.
Kebun yang diolah kakek dan paman,
berada di tengah hutan yang dikelilingi oleh himpitan barisan bukit memanjang.
Pantas saja jika ancaman serangan hama perusak sangat rentan. Hama yang sering
menjadi keluhan kakek dan paman adalah; burung gagak, burung kakak tua, monyet
dan terutama babi hutan.
Dalam rangka melakukan
perlindungan terhadap tanaman dari ancaman hama perusak, kakek dan paman
membuat gubuk kecil di tengah kebun seluas 3 ha itu. Gubuk ini berfungsi
sebagai tempat bernaung dikala menyiang rumput kebun, serta sebagai tempat berlindung
saat menjaga tanaman dari hama perusak.
Saya masih ingat jelas, saat masih
kecil kira-kira pada usia 5-6 tahun (sebelum
masuk SD). Saya bersama paman berjaga malam, agar babi hutan tidak
menyerang tanaman jagung dan kacang. Menurutku, paman sangat cerdas dan kreatif,
ia membeli radio dan memutarnya di tengah kebun, dengan tujuan babi bisa takut
dengan suara radio itu. Cara ini cukup ampuh, karenanya kami dapat tidur dengan
nyenyak tanpa takut pada serangan hama babi hutan.
Keseringan berjaga malam dengan
pamanku ini, saya jadi suka mendengar radio setiap malam dan pagi hari. Bagiku,
ini sangat ajaib dan menyenangkan, karena dengan benda ceper ini, saya asyik
mendengar lagu (meski saya belum bisa
berbahasa Indonesia).
Kebiasaan ini berjalan cukup lama,
hingga dengan banyak proses yang saya lalui telah membawa ragam perubahan yang sebelumnya
terasa mustahil. Titus kecil yang sangat ndeso
itu mulai melihat dunia luar, dunia yang berbeda dari kampungku yang sebelumnya.
***
Waktu terus menggiring, tapak demi
tapak dijalani, hingga waktu pula yang mengantarkan pada kenyataan hidup.,
memperoleh banyak pengalaman yang terasa WUAH...
Sejak masuk kuliah di STPMD
Yogyakarta pada tahun 2008, bergabung dengan radio Ganesha APMD, Lembaga Pers
Mahasiswa Teropong., selanjutnya mengikuti debat interaktif di TVRI Jogja pada
tahun 2011 dengan tema “Komunis masih menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI?”.,
yang paling membekas dari debat ini, ketika moderator kala itu mengutip
pernyataan saya sebagai penutup acara debat., saya katakan “Komunis telah mati
bersama sejarahnya”. Dan tentu saja, 2 kali saya tampil di TVRI Jogja sangat
menyenangkan bagi saya, bahkan saya katakan dengan bangga ‘saya sudah berhasil
masuk TV’ (maklum anak kampung).
Moderator @GlobalFM Waingapu |
Detik waktu terus berjalan,
begitupun cerita tentang titus dan radio., dulu saya hanya pendengar yang ndeso, menjadi penyiar amatiran,
reporter dan moderator di GlobalFM Waingapu pada tahun 2014, bahkan narasumber
dadakan pada beberapa kesempatan minggu sore pada acara “bertani organik” di
radio MaxFM Waingapu.
Ini hanya penggalan cerita
singkat, alur ceritanya terkesan lompat-lompat, tapi ini adalah pengalaman dan
cerita yang sangat menarik bagi saya, tentang seorang anak kampung yang tidak
tahu apa di balik suara radio, hingga menjadi pelaku langsung dari media
komunikasi massa yang tetap eksis hingga saat ini, bahkan tetap menjadi pilihan
utama sebagai sumber informasi dan hiburan bagi warga Indonesia dan Sumba Timur
pada khususnya.
Untuk itu, saya ucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi pada cerita ini, saya tidak
mampu mencantumkan nama per nama, karena ku tahu, ketika mereka membaca tulisanku
ini, hati mereka akan berdetuk bangga dan tersenyum dengan semua ini. Terima
kasih, SALAM: T2s_Ray
Tidak ada komentar:
Posting Komentar