Minggu, 18 September 2016

TENTANG RADIO, sedikit terekam dalam ingatan, titus kecil yang hidup di daerah terpencil.

narasumber @MaxFM Waingapu
Kampung Wai Liang, Desa Mbatakapidu adalah tempat kelahiranku pada 13 september, 27 tahun silam. Laiknya anak kampung kala itu, gembala ternak kerbau dan kambing adalah permainan yang paling menyenangkan. Aktivitas rutin yang tak terlewatkan adalah menunggang kerbau di pagi hari saat mengantar di padang rumput, hingga menggiring kerbau pulang ke kandang pada sore hari.
Beternak adalah bagian integral dari kegiatan bertani, oleh karena itu, pada saat musim hujan tiba, kakek dan paman mulai mempersiapkan lahan, memperbaiki pagar, mengolah kebun yang siap ditanami jagung dan kacang. Hanya dua varietas tanaman yang ditanam anggota keluarga di kampung kami.
Kebun yang diolah kakek dan paman, berada di tengah hutan yang dikelilingi oleh himpitan barisan bukit memanjang. Pantas saja jika ancaman serangan hama perusak sangat rentan. Hama yang sering menjadi keluhan kakek dan paman adalah; burung gagak, burung kakak tua, monyet dan terutama babi hutan.
Dalam rangka melakukan perlindungan terhadap tanaman dari ancaman hama perusak, kakek dan paman membuat gubuk kecil di tengah kebun seluas 3 ha itu. Gubuk ini berfungsi sebagai tempat bernaung dikala menyiang rumput kebun, serta sebagai tempat berlindung saat menjaga tanaman dari hama perusak.
Saya masih ingat jelas, saat masih kecil kira-kira pada usia 5-6 tahun (sebelum masuk SD). Saya bersama paman berjaga malam, agar babi hutan tidak menyerang tanaman jagung dan kacang. Menurutku, paman sangat cerdas dan kreatif, ia membeli radio dan memutarnya di tengah kebun, dengan tujuan babi bisa takut dengan suara radio itu. Cara ini cukup ampuh, karenanya kami dapat tidur dengan nyenyak tanpa takut pada serangan hama babi hutan.
Keseringan berjaga malam dengan pamanku ini, saya jadi suka mendengar radio setiap malam dan pagi hari. Bagiku, ini sangat ajaib dan menyenangkan, karena dengan benda ceper ini, saya asyik mendengar lagu (meski saya belum bisa berbahasa Indonesia).
Kebiasaan ini berjalan cukup lama, hingga dengan banyak proses yang saya lalui telah  membawa ragam perubahan yang sebelumnya terasa mustahil. Titus kecil yang sangat ndeso itu mulai melihat dunia luar, dunia yang berbeda dari kampungku yang sebelumnya.
***
Waktu terus menggiring, tapak demi tapak dijalani, hingga waktu pula yang mengantarkan pada kenyataan hidup., memperoleh banyak pengalaman yang terasa WUAH...
Sejak masuk kuliah di STPMD Yogyakarta pada tahun 2008, bergabung dengan radio Ganesha APMD, Lembaga Pers Mahasiswa Teropong., selanjutnya mengikuti debat interaktif di TVRI Jogja pada tahun 2011 dengan tema “Komunis masih menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI?”., yang paling membekas dari debat ini, ketika moderator kala itu mengutip pernyataan saya sebagai penutup acara debat., saya katakan “Komunis telah mati bersama sejarahnya”. Dan tentu saja, 2 kali saya tampil di TVRI Jogja sangat menyenangkan bagi saya, bahkan saya katakan dengan bangga ‘saya sudah berhasil masuk TV’ (maklum anak kampung).
Moderator @GlobalFM Waingapu
Detik waktu terus berjalan, begitupun cerita tentang titus dan radio., dulu saya hanya pendengar yang ndeso, menjadi penyiar amatiran, reporter dan moderator di GlobalFM Waingapu pada tahun 2014, bahkan narasumber dadakan pada beberapa kesempatan minggu sore pada acara “bertani organik” di radio MaxFM Waingapu.
Ini hanya penggalan cerita singkat, alur ceritanya terkesan lompat-lompat, tapi ini adalah pengalaman dan cerita yang sangat menarik bagi saya, tentang seorang anak kampung yang tidak tahu apa di balik suara radio, hingga menjadi pelaku langsung dari media komunikasi massa yang tetap eksis hingga saat ini, bahkan tetap menjadi pilihan utama sebagai sumber informasi dan hiburan bagi warga Indonesia dan Sumba Timur pada khususnya.

Untuk itu, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi pada cerita ini, saya tidak mampu mencantumkan nama per nama, karena ku tahu, ketika mereka membaca tulisanku ini, hati mereka akan berdetuk bangga dan tersenyum dengan semua ini. Terima kasih, SALAM: T2s_Ray

Jumat, 05 Agustus 2016

Si Pengembara matikan Bara untuk Kembara

“...mungkin saja mereka berpikir bahwa dengan menyulut api, belalang akan pergi dan telurnya habis di makan bara api, karena belalang kembara sudah dua minggu bermukim di padang ini”

Surya sudah sempurna di balik bukit, ketika saya meninggalkan desa katikuwai dalam rangka survey sarana air minum bersama tim teknis PU dan koordinator SPARC Kabupaten  Sumba Timur.

Pada garisan bukit Matawai La Pawu, angin bertiup tanpa terhalang , hingga malam terasa semakin dingin. Pemandangan yang indah di pagi hari telah tertutup kabut, dan senter motor  menuntun mata selalu fokus pada jalanan liku berlubang.

Hmmm, udara tak asing tertangkap oleh penciuman, aroma yang khas di awal musim hujan ketika petani membakar rerumputan mati di kebun. Di sana, di savana yang jauh, garisan merah menyusuri bukitan kecil tersusun.

Semakin dekat, udara malam berubah hangat. Hangatnya itu seakan merayuku tuk sebentar berhenti menyaksikan bara api menghabisi rumput dan ilalang di padang ternak. Ya, tepatnya di RT 8 Menggit, Lai Ndeha., di situlah penulis bertemu seorang pria yang akhirnya ku ketahui berusia 49 tahun. Dengan melilitkan kain sarung ende di pinggangnya, ia memegang segenggam daunan hijau, sambil berjalan mendekati api yang membara, dengan batang dan daun itulah ia berusaha membunuh jago merah. 

Penulis berjalan mendekat dan mengajaknya berbincang-bincang., dari sinilah ku ketahui jika bapak ini bernama Emanuel Manu, lahir di Atambua pada 16 agustus 1967 malam., lalu ibunya meninggal di pagi hari.

Sambil duduk santai di pinggiran jalan, ia menceritakan perjalanan hidupnya yang mengembara dari pulau ke pulau. Diawali sejak bersama ayah angkatnya yang tugas ke bali, yang juga kemudian meninggalkannya untuk kembali kepada sang pencipta. Sepeninggal ayah angkatnya, ia menghabiskan usia muda di rantauan pulau jawa., dan pada tahun 2003 menginjakkan kaki di pulau sumba, hingga pada tahun 2007 secara resmi menjadi warga Desa Lai Ndeha.

Setelah asyik menceritakan perjalanan hidupnya yang mengembara, bapak yang mengaku sudah memiliki 3 kapling tanah di Desa Lai Ndeha ini menceritakan bahwa, kebakaran padang di desa lai ndeha terjadi kira-kira sejak jam 12 siang pada tanggal 5 agustus 2016 wita.

Menurutnya, api tiba-tiba saja muncul dan melahap semua rerumputan, angin dan panas matahari mempersulit pemadaman., apalagi hanya 3 orang dewasa dibantu beberapa anak sekolah yang melakukan pemadaman, bahkan 1 rumah alang hampir saja tersulut api.

Penyebab kebakaran padang tidak diketahui secara pasti, namun ia memperkirakan bahwa “api bisa berasal dari puntung rokok pengendara yang lewat, atau bahkan ada yang sengaja membakar untuk mengusir belalang kembara., mungkin saja mereka berpikir bahwa dengan menyulut api, belalang akan pergi dan telurnya habis di makan bara api, karena belalang kembara sudah 2 minggu tidur di padang ini, sudah pasti telurnya banyak dan jika menetas akan sangat mengkhawatirkan petani.”

Lalu, pertanyaan besarnya adalah apakah membunuh embrio belalang harus dengan bara api?, atau mungkin??? #anda bisa menjawabnya guysJ

Senin, 18 Juli 2016

Belajar dari kearifan lokal petani Humba menangani hama Burung Gagak

"...karena melindungi hasil pertanian tidak harus memusnahkan hama pemangsanya, melainkan memelihara dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem di bumi lestari ini"

Suatu pagi, saya berjalan mengelilingi kebun jagung seorang warga petani di Desa Pambotanjara, Kecamatan Kota Waingapu, Sumba Timur., memotong daun lamtoro untuk makanan ternak kambing adalah tujuan utamaku menyusuri pinggiran kebun jagung, Bapak Stepanus Ndena Nggaba.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh dari posisiku berdiri menatap dedaunan, bapak berusia 42 tahun itu menyapa dengan hangat. “sore pak Umbu, mari masuk kebun cari jagung muda, tapi jagung pulut sudah terlanjur kering,” ujarnya sambil bangkit berdiri.

Dengan santai, saya pun masuk ke uma ndai (rumah jaga/kebun). Mendekat di gubuk itu, saya mendapati tumpukan serabut kelapa dan kain hitam., saya menjadi heran ketika melihat ‘mainan’ yang dibuat oleh orang tua ini, ya mainan itu menyerupai seekor burung lengkap dengan paruk, sayap dan ekor, semuanya berwarna hitam.,

untuk memenuhi rasa penasaran, saya pun bertanya “Bapak, untuk apa ini semua?”

Petani yang juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang daun lontar ini menjelaskan, bahwa “sabut kelapa digunakan untuk membuat rangka burung, sedangkan kain hitam ini untuk membungkus rangkanya, sehingga benar-benar menyerupai burung gagak yang besar., tujuannya agar burung gagak takut. “

Sekedar diketahui, pada musim jagung ke-2 sekarang ini, petani jagung di Desa Pambotanjara sedang diresahkan oleh serangan hama burung gagak. Sesungguhnya, fenomena hama burung gagak di Sumba bukanlah masalah yang baru, bahkan sudah merupakan salah satu istilah yang tak asing bagi orang sumba dengan “pa bohu gagangu”, yang artinya pencuri seperti burung gagak (kiasan untuk pencuri yang mengambil apa saja yang dilihatnya pada orang lain).

Cerita singkat dari praktek baik cara penanganan hama secara tradisional yang dilakukan oleh Bapak Stepanus Ndena Nggaba, sangat menarik untuk dipraktekkan oleh petani lainnya, sehingga tidak menggunakan bahan racun kimia untuk mengusir hama., karena melindungi hasil pertanian tidak harus memusnahkan hama pemangsanya, melainkan memelihara dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem di bumi lestari ini. SALAM HUMBA

Meneropong moralitas dengan Relativisme kultural

"Kaum relativisme kultural berpandangan bahwa apa yang benar dan salah, baik dan jahat, tergantung seluruhnya pada masyarakat tempat anda hidup" (Jenny Teichman, 1998;10)

Masyarakat yang heterogengen seperti Indonesia memiliki potensi kuat untuk mendukung gagasan di atas, pasalnya kaum relativisme kultural beranggapan bahwa masyarakat yang berbeda-beda mempunyai batasan perilaku yang berbeda, dan menyimpulkan bahwa moralitas ada pada dirinya.

Apa yang baik menurut hukum (bukan undang-undang) masyarakat di Sumatra Barat belum tentu sama seperti di Papua atau di daerah lainnnya. Hukum tidaklah identik dengan undang-undang, namun undang-undang pastilah hukum. Karena itu hukum yang benar adalah hukum yang lahir dari masyarakat itu sendiri dan diakui bersama oleh masyarakat sekitar bahwa hukum yang ada dalam lingkungan mereka merupakan pengatur moral masyarakat dalam komunitasnya.

Relativisme kultural tidak menghendaki adanya prinsip menghakimi komunitas lain. Dikatakan bahwa tidak ada kebenaran atau kesalahan diatas atau melampaui norma-norma sosial dan tak ada jalan untuk membandingkan atau mengelompokkan norma-norma sosial yang berbeda secara objektif (sekalipun semuanya mengandung kebaikan).

Dalam pandangan relativisme kultural tak ada alasan untuk mengatakan komunitas lain tak bermoral dengan menggunakan tata tertib komunitasnya sendiri, hal ini tak lain adalah imperialisme kultural. Paling baik menurut kaum relativisme kultural adalah tidak menghakimi siapapun karena ukuran moralitas yang kita gunakan bahkan belum tentu satu pandang dengan orang lain yang satu daerah dengan kita, jika orang itu beda komunitas.



Fakta adanya perbedaan kultural di Indonesia tak terelakkan lagi, berbagai kajian antropologis telah banyak dihasilkan yang menggambarkan begitu ragamnya budaya Indonesia. Namun jika kita menganut relativisme kultural, apakah masalah sosial di Indonesia bisa terselesaikan?. Jawabannya belum tentu (relatif).

Di Indonesia memang kita harus akui adanya perbedaan kultur dalam masyarakat, namun dalam perbedaan itu, ada juga nilai-nilai yang dianggap sebagai aturan yang patut ditaati bersama. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai produk undang-undang yang mengatur tentang masyarakat dan itu diakui bersama seluruh masyarakat Indonesia. 

Aturan universal dalam negara ini menunjukkan bahwa relativisme di Indonesia tidak dianut sepenuhnya. Namun dalam hal lain banyak praktik relativisme kita temukan dalam berbagai kasus. Contoh ; di Papua berlakunya hukum adat dan di Aceh yang menggunakan hukum syariah. Ini sedikit contoh yang menggambarkan relativisme kultural di Indonesia. 

Kasus lain, misalnya undang-undang pornografi mengundang kontroversi dalam masyarakat karena menggunakan perspektif komunitasnya. Masyarakat Aceh tentunya setuju dengan undang-undang ini karena secara religius dan kehidupan sosialnya berbeda dengan masyarakat Papua yang masyarakatnya masih menghargai pakaian tradisional (koteka). Selain itu, perbedaan perspektif atas pornografi-porno aksi merupakan gambaran nyata dari heterogennya budaya masyarakat Indonesia. 

Dari pemikiran relativisme kultural ini dapat kita katakan bahwa tidak ada penilaian objektif yang diakui dalam paham ini. Menurut asiomanya, memberikan penilaian objektif tidaklah mungkin karena orang yang menilai pasti beranggapan objektif, tapi bagaimana dengan orang lain?. Intinya, relativisme kultural tidak ingin mengambil reziko atas urusan moralitas, sehingga segala konsekuensi yang bakal timbul selalu dihindarinya. 

Setelah membaca sedikit pemaparan di atas, mana yang cocok untuk di implementasikan Indonesia, relativisme kultural atau pluralisme?. Menurutku “RELATIF”.

MODERNITAS TELEPON GENGGAM

"...telephone genggam tidak hanya sebagai connecting people, melainkan mengekspresikan karakter individu"


Perkembangan teknologi yang signifikan tak terelakkan lagi, sebagai produk modernisme, teknologi telah menjadi simbolnya. Salah satu bukti kemasyuran teknologi modern dapat kita lihat dari perkembangan telephone genggam yang kian merambah hingga ke lapisan bawah, telephone genggam tak mengenal kelas dan usia, ia telah menembus segala ambang batas kehidupan sosial masyarakat.

Khusunya di Indonesia, perkembangan telephone genggam pesat sejak tahun 1996, hal ini dapat kita lihat dari tajamnya promosi akan telephone genggam yang terdapat di media massa, baik cetak maupun elektrononik. Dari hasil penelitian yang dilakukan Nuraini Juliastuti menunjukkan bahwa, pada tahun 1993 iklan telephone genggam masih sangat minim, Koran Tempo memuat hanya satu iklan telephone genggam pada saat itu.

Namun di abad 21 ini, iklan-iklan telephone genggam marak kita lihat di berbagai media massa, bahkan ditemui dalam peristiwa-peristiwa istimewa yang memobilisasi massa ; konser musik, pertandingan olah raga, kesenian, pentas budaya dan sebagainya. Ini menandakan bahwa telephone genggam tidak lagi sebagai barang yang hanya dimiliki oleh kelas menengah atas, melainkan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.


Pergeseran Makna & Fungsi


Awalnya alat komunikasi ini dihadirkan untuk memudahkan komunikasi antar individu, secara harafiah menjadi pusat komunikasi pribadi anda, (george merson). 

Namun dalam perkembangannya, revolusi teknologi informasi nirkabel ini jusrtu menciptakan pergeseran bentuk dan makna dari aktifitas komunikasi itu sendiri. Bahkan kehadiran telephone genggam tidak hanya melampaui pergeseran teknologis belaka, melainkan telah mempengaruhi kultur dan mental masyarakat Indonesia.

Berbagai survei membuktikan bahwa, kehadiran telephone genggam sebagai “alat” telah berlalu, sekarang telephone genggam telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Seperti diketahui impact dari gaya hidup adalah telephone genggam tidak hanya sebagai connecting people, melainkan mengekspresikan karakter individu.

Makna dari aktivitas komunikasi telah berkembang luas. Berkomunikasi tidak saja menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan (Martin Heidegger), melainkan juga menguntungkan. Dengan modal dan tenaga terbatas, didukung oleh revolusi teknologi, kita dapat melakukan komunikasi dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja dan untuk kepentingan apa saja. Ruang dan waktu telah menjadi lentur untuk ditembus, sekat-sekatnya yang dulu begitu kokoh telah hilang oleh teknologi.

Selain pergeseran makna di atas, pergeseran fungsi telephone genggam itu sendiri kian terbentang di dalam keseharian kita. Hal ini dapat kita saksikan dalam berbagai merk telephone genggam yang menyediakan kelengkapan multimedia ; galeri foto, vidio, lagu, radio, dll.

Kamera telephone genggam telah menghadirkan budaya narsisme pada masyarakat, ia seolah takut akan eksistensi tubuhnya sehingga selalu mengabadikan diri, bahkan tak jarang digunakan untuk foto “bugil”. Memori telepon genggam telah digunakan untuk menampung berbagai vidio porno yang dapat merusak mental masyarakat.

Tak jarang ada kasus penemuan vidio porno dalam telephone genggam pelajar di berbagai sekolah merupakan bahaya laten, masifnya perkembangan teknologi ini telah menggiring pelajar dan kaum muda lainnya terjerembab dalam lembah yang menyesatkan. Seperti halnya kita terpacung oleh berbagai fasilitas yang diiming-imingkan oleh teknologi ini.

Demam telephone genggam memang merupakan keberhasilan pasar dalam memainkan pikiran masyarakat, sehingga dalam alam bawah sadar kita, bahaya telepohone genggam menghantui diri kita sendiri. Terlepas dari semua ini, impect posistif maupun negatif adalah keberhasilan modernisme mengkonstruksi gaya hidup masyarakat. Telephone genggam menjadi gaya hidup masyarakat karena konstruk modernisme yang mengidentikkan dengan industrialis-teknologis.

Semoga kita sadar akan makna komunikasi dan fungsi dari telephone genggam itu sendiri. Salam post-modernisme!