Senin, 01 Oktober 2018

GEMPA dalam persepsi Marapu

ada sebuah cerita rakyat Sumba sebagai perumpamaan keseimbangan ekosistem di Bumi.

CERITANYA : Bumi ini punya 1 poros inti (kaleki puhu). di sekitaran kaleki puhu, hidup sekumpulan tikus (kalawu) dan sekumpulan kucing (miau). kedua makhluk ini punya peran penting terkait eksistensi Bumi dan penghuninya.

tikus berperilaku buruk, dia selalu ingin menggoyang pusar bumi agar terjadi gempa. sedangkan kucing berperilaku baik yg selalu membunuh tikus untuk menjaga pusar Bumi.

oleh karena kesetiaan dan kebaikan para kucing, orang penganut Marapu memuliakan kucing sebagai binatang yg keramat. menurut mereka, membunuh kucing sama halnya membunuh kebaikan itu sendiri.

namun, seiring berkembangnya zaman. paham rasionalitas menjadi dominan, sehingga mengubah pola pikir manusia dari tradisi naif, berpedoman pada akal sehat. membunuh kucing bukan lagi hal yg tabu, bahkan daging kucing adalah makanan lezat.

akibat dari terbunuhnya kucing, populasi tikus menjadi semakin besar, mengalahkan para kucing. kucing semakin sulit menjaga poros bumi, disaat yg sama tikus semakin merajalela.

nah, di sinilah yg mjd penyebab terkoyahnya poros bumi oleh para tikus jahat dan menyebabkan gempa (upung).

MAKNA
dari perumpamaan tradisi adat orang Marapu yg telah dijelaskan di atas, dapat dimaknai bahwa sejak dunia diciptakan. telah hidup berdampingan antara jahat dan kebaikan. ini merujuk pd sifat asli manusia dlm 2 rupa.

semakin berkembangnya zaman, manusia semakin tidak taat pada Tuhannya, dan merusak alam untuk kepentingan jangka pendek.

antara sifat baik dan sifat buruk tdk lg seimbang dlm diri manusia. manusia semakin durhaka oleh penguasaan sifat buruk. kebaikan tersisihkan oleh sifat buruk yg lbh menguntungkan, dibanding berlaku baik.

untuk itu, alam tdk lg mampu menyediakan sumber daya memanjakan manusia. jalan satu2nya yg bisa dilakukan adalah dg melakukan seleksi. yakni, mengoyahkan dirinya terselubung air bah. dan, dendam alam pun terpenuhi oleh kehendak ilahi.

hari ini, kita telah takut pada perbuatan sendiri, kita gentar keserakahan sendiri, dan kita sendiri.
#terinspirasidaritradisiMarapu
#pemaknaanpenulissendiri

Selasa, 17 Juli 2018

Mengenang lahirku 30 tahun lalu, untuk anakku kini 1 bulan

...jauh sebelum hari ini,  dalam hatiku selalu menaruh dendam pada masa kecilku.  Masa kecil yang bagiku sangat menderita batin.  Pra sekolah,  tugas harianku adalah mengembala kerbau dan kambing.  Rutinitas itu ku lakukan saat tinggal bersama kakek (ayah dari ibuku).

...bicara soal ekonomi,  kakek tergolong orang kaya dari Mbatakapidu.  Bisa disimpulkan bahwa saya tidak kekurangan secara materi.  Yang sangat kurang bagiku,  ketika kasih sayang kedua orang tuaku,  aku tak merasakan saat itu.

...ketika masuk usia sekolah,  barulah saya tinggal dengan ibu saya. Senang awalnya bisa bersama ayah dan ibu.  Namun kehidupan rumah tangga terasa sulit diceritakan. Ketika saya menyadari bahwa ibu saya hanya istri kedua.

...semua kata seakan menjadi cambuk yang menyakitkan,  semua perlakuan ayah yang tidak peduli padaku dan ibu membuatku menyesal telah bersama mereka.  Ibu ku setiap hari memukulku,  entah itu salah dari adik atau bahkan kakak tiri yang tidak suka saat saya duduk diantara mereka.

...laiknya seorang anak,  tapi merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan saudaraku yang lain,  yang sejak kecil tinggal bersama mereka. Disaat kakak tiri dan adikku bermain mobil-mobilan,  saat itulah saya membawa karung dan sabit untuk mencari rumput makanan kuda.

...tidak berhenti sampai disitu,  ketika masuk SMP pun sering keluar masuk sekolah,  karena lelah berjalan kaki dari km7 sampai SMPN 2 Waingapu.  Yang membuatku Sakit hati, disaat saya lelah dan tidak punya uang bemo,  kakak tiri saya pakai motor sendiri.

...Meski demikian,  akhirnya saya lulus dan lanjut SMA di Panti Asuhan Maranatha Bojonegoro.  Tetap dengan cerita yang sama,  karena kuliahpun masih bekerja untuk membiayai pendidikan sendiri.

...membayangkan kembali semua cerita masa kecilku,  rasanya ingin aku benci orang tuaku sendiri,  membenci saudaraku yang dulu menyakitiku.

...perasaan itu terus ku pendam,  terkadang aku berpura baik pada mereka,  meski sakit ketika muncul ingatan masa kecilku. Sebagai manusia durhaka,  dalam hatiku sulit menguburkan perlakuan mereka yang dulu,  walau kini mereka telah berusaha menghapusnya dengan kebaikan dan kasih sayang.

"SAYA INGIN BERBAGI PENGALAMAN."

Titus, Mama,  Bapak, Nona Dimu
...malam ini terasa spesial bagiku,  karena ayah dan ibu duduk bersama denganku.

...mengawali sebuah cerita malam ini,  ayah bertanya padaku "umbu,  kenapa 2 bulan ini tidak pernah tidur di rumah?,  kemarin malam saya sakit, kalau saya mati kamu tidak ada" kata bapakku.

...dalam hatiku bilang "sekarang peduli dengan saya,  baru 2 bulan saja sudah tanya.  Kalau bapak sakit,  hubung saja anak-anak yang bapak sayang,  kenapa saya harus ada ketika bapak sakit?" meski tidak sanggup ku ucapkan.



...lalu saya jawab "namanya suami siaga to bapak,  sebulan sebelum cucumu lahir,  saya sudah bersama ibunya.  Begitupun sebulan setelah lahir,  saya bantu jaga,  bahkan tidak tidur semalaman karena bayi nangis dan sulit tidur malam.  Giliran pagi baru dia tidur." jawabku, meski yang sesungguhnya panjang alasanku.

...mendengar jawabanku,  bapak langsung ketawa "itu to,  sekarang baru rasa jadi orang tua. Saya juga dulu kalian lahir begitu,  apalagi masa itu musim lapar. Malam saya jaga kalian,  paginya saya pergi keliling mandara, minta-minta di keluarga."

..."oh begitu juga bapak? (tanyaku sambil merenung penilaianku). Jujur bapak,  selama ini saya sebenarnya ada rasa benci sama bapak,  kenapa bapak itu terlalu manja sama saudaraku yang lain,  sedangkan saya, tidak?. Waktu kecil bapak manjakan dengan mainan,  waktu sekolah juga manjakan dengan uang.  Sedangkan saya tidak."

...bapak jawab dengan santai "kalau kamu kan tidak minta.  Kalau saudaramu yang lain minta dan menangis tuntut harus di kasih.  Mau tidak mau, supaya mereka diam,  saya harus ikut kemauan mereka" kata ayahku.

...hmmm "bapak hanya alasan,  masa harus diminta dulu.  Memang bapak tidak sadar kalau saya juga anak yang butuh perhatian? Bapak pilih kasih mo,  masa bapak tidak tahu tanggung jawab terhadap saya. " jawabku.

...kemudian bapak jawab lagi "ya sudah itu sudah lewat,  yang penting sekarang kamu sudah tahu kalau semua saya punya anak,  saya perlakukan sama.  Nanti juga kamu punya anak,  jadi harus perlakukan adil supaya jangan sama seperti saya" tutup ayah.

...lalu saya bertanya kepada ibu "mama,  kenapa dulu saya mama pukul terus,  mama ke tidak suka sama saya.  Kalau saya punya adik dong mama tidak pukul seperti saya?. Tanyaku.

...mama jawab "tidak ada anak yang saya tidak suka.  Semua saya sayang,  apalagi kamu anak pertama,  mau melahirkan kamu itu,  saya hampir mati.  Dulu kamu lahir di kampung dengan dukun kampung,  pas mama pendarahan,  tidak ada penanganan seperti rumah sakit sekarang ini.  Untung saja orang tua zaman itu tahu daun obat sehingga saya selamat dan kamu besar begini" jawab mama yang memang bernada relatif tinggi.

..."oh iya mama,  ini saya punya baby juga lahir setengah mati dia pu mama. Karena tidak bisa lahir di Nggongi jadi rujuk ke RSUD Waingapu". Sambungku

...Kembali mama melanjutkan ceramahnya "saya dulu hidup menderita saat kamu kecil. Jagung dan beras tidak ada.  Mau pergi gali ubi hutan,  jauh dan tidak bisa kasih tinggal kalian sendiri.  Mau gendong ke hutan,  tidak bolehkan oleh adat kita.  Jadi sebagai pelampiasan emosi,  saya pukul kamu.  Dan ketika kamu menangis,  tetangga datang tanya,  saya bilang kamu minta makan,  tapi dia punya nenek belum sampai dari kebun. Pernah sampai tetangga kita itu kasih katiku luwa (kepala ubi hutan yang seharusnya tidak dimakan karena gatal) ".

...dari hasil bincang dengan orang tuaku yang saya ceritakan di atas, memang benar-benar menyentuh perasaanku,  ketika saya membayangkan keadaan orang tua ketika kelahiran saya 30 tahun yang lalu. Rasa dendam yang dalam persepsi saya tidak adil,  ternyata latar belakangnya seperti ini.  Serta lebih dari semua cerita itu.  Saya sudah merasakannya sendiri saat ini,  ketika anak lahir disaat saya menjadi nganggur.  Dan juga melihat langsung,  ibunya sengsara menjalani proses melahirkan.

...sedikit cerita pengalaman,  yang mungkin saja dialami oleh yang lain, pada bentuk cerita yang berbeda...  SALAM :)

Sabtu, 14 Juli 2018

PA TANI PEMBURU MONYET

Pa Tani tinggal di Desa Wuaka,  Kecamatan Lattang. Sebuah desa terpencil di Kabupaten Rammang.  Laiknya kehidupan masyarakat di wilayah pedalaman,  bertani adalah aktivitas utama penduduk setempat,  tak terkecuali Pa Tani.  Bapak berusia 15 tahun ini berkebun di pinggir hutan yang rawan gangguan binatang liar.

Monyet! merupakan salah satu binatang pengganggu bagi petani di desa ini,  sehingga mereka pun harus ekstra menjaga kebun sepanjang hari,  begitupun malam harus lembur menjaga tamu lain,  yaitu babi hutan.

Waktu istrirahat keluarga Pa Tani nyaris tak ada. Oleh karena begitu tersiksanya kehidupan Pa Tani yang menjaga hasil kebun siang dan malam.  Pa Tani memutuskan untuk merancang sebuah strategi memerangi hama pengganggu itu.  Pa Tani membuat sebuah panah tradisional,  yang alatnya sudah dipastikan siap terlebih dulu.

Malam itu sangat hening,  suara jangkrik dan kodokpun seolah lelap pada keheningan malam.  Pa Tani tetap asyik membuat sebuah panah tradisional yang berbusurkan kayu dan ujungnya dipasang besi beruncing.  Persis waktu telah menunjukkan 04.00 wita.  Pa Tani berpikir untuk istrahat sejenak di tempat tidur.  Menurutnya,  waktu sudah hampir pagi,  babi hutan biasanya sudah tidak datang pada jam sekitaran itu.

Sementara di tempat tidur,  Pa Tani belum merasakan ngantuk,  dalam pikirnya,  "besok saya akan menghabisi monyet-monyet pengganggu itu dengan panah buatanku". Rasa penasaran itu segera terjawab menjelang jam 07.00 wita.  Ketika tiba-tiba tertangkap di telinga Pa Tani,  PRAAAKKK rupanya itu ada yang patah jagung.  Kebiasaan para monyet mencuri hasil kebun petani.

Mendengar bunyi yang mencurigakan,  perlahan Pa Tani mendekati dengan langkah sangat hati-hati.  BUSSS anak panah terbang dan menghujam perut monyet rakus itu. Hanya sekali memanah,  monyetpun terjatuh dan mati.

Kegiatan memburu monyet dengan panah terus dilakukan Pa Tani, bahkan jumlah monyet yang menyerang hasil kebunnya berkurang drastis. Mendapatkan hasil dari inovasinya itu,  Pa Tani sangat senang. Tanaman aman,  hasil buruan bisa jadi lauk, itulah pikirnya.

Hari-hari adalah waktu yang baik untuk berburu, hingga suatu moment bersejarah tercipta bagi perjalanan hidupnya. Peristiwa itu bermula, saat Pa Tani pergi mengelilingi kebunnya dengan membawa panah tradisionalnya.  Setibanya di sudut barat kebun itu,  Pa Tani melihat seekor monyet sedang asyik makan jagung di atas pohon mahoni.  Pa Tani membidik monyet yang kebingungan itu,  panahannya sangat jitu dan tepat menancap di rahang yg sedang menggigit jagung.

Satu hingga tiga busur panah telah menancap di badan monyet, namun belum juga terjatuh dari atas pohon.  Melihatnya tetap saja tenang,  Pa Tani memperhatikan detail letak masing-masing busur bidikannya, persis pada sasaran mematikan. ANEH,  itulah penilaiannya.

Sambil terpaku heran,  Pa Tani memperhatikan monyet itu turun dari pohon dangan susah payah karena kesakitan. Perlahan,  monyet itu semakin dekat di tanah.  Pa Tani kaget karena monyet yang di panahnya sedang menyusui bayi yang melekat di badannya. Monyet mendekat di tempat Pa Tani berdiri. Dengan tangannya berlumuran darah, mama monyet melepas rangkulan anaknya dengan paksa.  Sambil meneteskan air mata,  mama monyet meletakkan ananaknya di atas tanah, lalu terkapar di hadapan balitanya yang akan jadi yatim piatu.

SONTAK,  rasa iba merasuki perasaan Pa Tani, hatinya hancur dihantui rasa bersalah. Awalnya penuh dengan amarah dan benci,  seketika berubah sedih dan pilu. Kebenciannya pada hama perusak, telah mengantarkannya pada rasa bersalah yang tiada batas. "Untuk membalas kesalahanku,  meski tak harus ku bangkitkan kembali mama anak monyet malang ini,  maka harus ku bawa untuk ku besarkan, melepasnya kembali demi lahirnya generasi baru monyet". keputusan akhir Pa Tani.

Bulan demi bulan telah dilalui bersama anak monyet piaraannya.  Pa Tani berpikir kembali.  Monyet ini semakin dewasa,  dia perlu nikah,  rumahnya di hutan,  makannya buah-buahan.  Sekarang,  Pa Tani mulai menanam tanaman buah di pinggiran kebunnya. Pa Tani memilih jenis tanaman yang bisa matang bersamaan dengan musim jagung. Tujuannya jelas, agar para keluarga monyet tidak memakan hasil tani karena kelaparan.  Tetapi mereka bisa kenyang dari makanan buah yang di tanam pada pinggir kebun.

Ide Pa Tani benar-benar ampuh,  setelah 3 tahun berjalan.  Tanaman sudah berbuah dan matang pada saat yang sama dengan jagung di kebunnya. Monyet bahagia karena kenyang dari buah Pa Tani,  Pa Tani pun riang karena hasil kebunnya tak lagi diganggu para monyet.

#HANYA cerita fiksi, yang terinspirasi dari cara seorang petani padi ladang di Desa Mbatakapidu. Ketika tanam padi di kebun dekat hutan,  selalu diganggu oleh burung. Lalu ia punya ide,  agar tidak lelah menjaga burung, sebaiknya tanam sorgum di pematang,  agar burung kenyang dari sorgum dan tidak sampai makan padi :)

Senin, 11 Juni 2018

Advokasi sosial, apa sich untungnya?

- bensin beli sendiri
- buang tenaga,  waktu dan biaya
- gaji,  tdk ada yg memberi
- donor, tdk punya lembaga
- risiko,  dimaki banyak orang
- korban,  terkadang merasa terintimidasi
TAPI....
di dunia ini setiap insan, masing2 sdh diberikan peran.  menjadi advokat sosial bukanlah pekerjaan muda,  karena mendahulukan rasa untuk merespon aturan normatif.
Dlm pandangan advokad sosial,  berjuang atas nama kemanusian bukanlah hal yg tabu,  justru terdiam ketika melihat hal yg ganjal adalah derita batin.
Pengalaman pribadi saya yg terbaru,  ketika mengantar seorang anak kelas 6 SD utk ikut UN di SDN Wainggay. Kepala SD memanggil sy di ruang kepsek dan diberi pengarahan agar tdk membela anak2 yg tdk masuk tampung di sekolah. Sy dianggap melindungi karena saat guru2 datang panggil dg marah2,  anak malah takut dan lari dari rumah. Mama saya dimarahi oleh ketua komite sekolah karena anak ini dikasih makan saat dtg rumah,  tdk pukul spaya ke sekolah.  Tapi mereka tdk taw,  bhwa pendekatan yg saya lakukan dg kawan2 adalah dg cara persuasif, dan telah trbukti berhasil mengembalikan 5 org anak putus sekolah kembali di bangku pendidikan pd thn 2015, serta 1 anak yg sudah lewat usia didorong untuk ikut persamaan paket B (meski biaya foto hrs kluarkan uang sendiri,  membeli peralatan sekolah,  dan mengantar mereka ke sekolah agar tdk minder dg kawan2nya).
...Yang kedua,  saya menulis artikel ttg Koperasi Amanda yg saya beri judul "Aman, Da?".
Saya tulis opini tersebut berdasarkan indikator kesehatan koperasi dengan komparasi suku bunga/ bonus yg tidak masuk akal.
Saat itu,  saya rela menjual ibu saya ketika diserang banyak org dg tuduhan memfitnah,  tdk berdasar dan iri krna tdk bermodal.  Bahkan ada yg mengaku jubir amanda,  inbox ke fb saya dan maki2. Saya hanya bilang,  itu hasil analisis dari pengetahuan yg saya miliki,  nanti kita lihat saja. Dan setelah berjalan 2 minggu kemudian,  analisis saya terbukti,  dan sekarang hilang kabarnya.
...Yang ketiga,  ketika melakukan audit pupuk bersubsidi pada tingkat desa. Banyak yg skeptis dg apa yg kami lakukan,  karena alasan pemerintah lokal bahwa ini adalah kebijakan nasional yg hanya diterapkan oleh pemda berdasarkan mekanisme yg telah diterapkan dari pusat,  tapi perjuangan belum usai,  setelah menyatukan persepsi dg duduk bersama dlm hadapan data-data lapangan,  akhirnya melahirkan 1 pemikiran utk menindaklanjuti hingga tingkat nasional terkait dg pupuk bersubsidi bagi petani.
Jauh sebelum itu,  lahirnya UU No. 6 thn 2014 tdk lepas dari pergolakan sosial yg terjadi di masyarakat,  sejak mahasiswa, saya masih launching majalah dg judul "Desa,  Negeri mini yang terabaikan?"-"jalan terjal UU Desa, pada thn 2010", menulis buku ttg "dinamika politik lokal dalam teori dan praktek, thn 2012".
Tentu,  saat kegiatan seminar hasil karya ini,  banyak peserta yg meragukan,  kritikan pedas harus diterima dg keras.  Tapi tetap berpikir rasional dan optimis,  meski emosi naik laiknya karakter org timuran.  Tapi,  semua pengalaman itu,  mengajarkan saya ttg bagaimana risiko mjd pegiat sosial.  Karena korban telah dibutakan oleh keadaan,  sehingga dirinya sendiri tdk merasa jadi korban,  bhkan berbalik mnjadi lawan,  yg kmudian juga tersadar dan menikmati hasilnya.
...
LALU,  apa sih tujuan advokasi sosial itu?
Advokasi sosial, sesungguhnya bukan bertujuan untuk menantang keadaan,  mendobrak mekanisme,  melawan aturan.  Bukan untuk menyalahkan pelaksana program (pemerintah), bukan bertujuan agar dianggap sok pahlawan yg membela atas nama rakyat.
Tapi tujuan advokasi sosial, sesungguhnya adalah penyadartahuan sosial akan hak sebagai warga negara,  merubah sistem dan kebijakan pada skala makro nasional (pada tingkatan pembuat kebijakan).  masalah itu ditampung dari bawah,  dianalisis pd tingkat lokal,  dilakukan evaluasi berdasarkan kasus yg sering terjadi pd tingkatan implementasi,  sehingga bisa menjadi rekomendasi perbaikan masa depan.  Tapi jika kasus dipendam dg alasan sdh ada aturan yg mengatur dan kita terus pasrah dg kendala mekanisme normatif,  maka jangan harap perubahan kebijakan itu bisa terjadi.
#Jadi,  jangan tunggu masalah itu datang pada diri kita baru kita merasa keadilan tdk berpihak,  tapi kita harus peduli dg kondisi orang lain,  yg mgkin saja dlm prputaran waktu, datang pada diri kita.
#sekedar curhat :)
#bukan mengeluh
#tetap ada dan akan ada :)
#Hidupku utk melawan,  bukan penurut :)
Oleh: Titus Umbu Ray

Minggu, 18 September 2016

TENTANG RADIO, sedikit terekam dalam ingatan, titus kecil yang hidup di daerah terpencil.

narasumber @MaxFM Waingapu
Kampung Wai Liang, Desa Mbatakapidu adalah tempat kelahiranku pada 13 september, 27 tahun silam. Laiknya anak kampung kala itu, gembala ternak kerbau dan kambing adalah permainan yang paling menyenangkan. Aktivitas rutin yang tak terlewatkan adalah menunggang kerbau di pagi hari saat mengantar di padang rumput, hingga menggiring kerbau pulang ke kandang pada sore hari.
Beternak adalah bagian integral dari kegiatan bertani, oleh karena itu, pada saat musim hujan tiba, kakek dan paman mulai mempersiapkan lahan, memperbaiki pagar, mengolah kebun yang siap ditanami jagung dan kacang. Hanya dua varietas tanaman yang ditanam anggota keluarga di kampung kami.
Kebun yang diolah kakek dan paman, berada di tengah hutan yang dikelilingi oleh himpitan barisan bukit memanjang. Pantas saja jika ancaman serangan hama perusak sangat rentan. Hama yang sering menjadi keluhan kakek dan paman adalah; burung gagak, burung kakak tua, monyet dan terutama babi hutan.
Dalam rangka melakukan perlindungan terhadap tanaman dari ancaman hama perusak, kakek dan paman membuat gubuk kecil di tengah kebun seluas 3 ha itu. Gubuk ini berfungsi sebagai tempat bernaung dikala menyiang rumput kebun, serta sebagai tempat berlindung saat menjaga tanaman dari hama perusak.
Saya masih ingat jelas, saat masih kecil kira-kira pada usia 5-6 tahun (sebelum masuk SD). Saya bersama paman berjaga malam, agar babi hutan tidak menyerang tanaman jagung dan kacang. Menurutku, paman sangat cerdas dan kreatif, ia membeli radio dan memutarnya di tengah kebun, dengan tujuan babi bisa takut dengan suara radio itu. Cara ini cukup ampuh, karenanya kami dapat tidur dengan nyenyak tanpa takut pada serangan hama babi hutan.
Keseringan berjaga malam dengan pamanku ini, saya jadi suka mendengar radio setiap malam dan pagi hari. Bagiku, ini sangat ajaib dan menyenangkan, karena dengan benda ceper ini, saya asyik mendengar lagu (meski saya belum bisa berbahasa Indonesia).
Kebiasaan ini berjalan cukup lama, hingga dengan banyak proses yang saya lalui telah  membawa ragam perubahan yang sebelumnya terasa mustahil. Titus kecil yang sangat ndeso itu mulai melihat dunia luar, dunia yang berbeda dari kampungku yang sebelumnya.
***
Waktu terus menggiring, tapak demi tapak dijalani, hingga waktu pula yang mengantarkan pada kenyataan hidup., memperoleh banyak pengalaman yang terasa WUAH...
Sejak masuk kuliah di STPMD Yogyakarta pada tahun 2008, bergabung dengan radio Ganesha APMD, Lembaga Pers Mahasiswa Teropong., selanjutnya mengikuti debat interaktif di TVRI Jogja pada tahun 2011 dengan tema “Komunis masih menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI?”., yang paling membekas dari debat ini, ketika moderator kala itu mengutip pernyataan saya sebagai penutup acara debat., saya katakan “Komunis telah mati bersama sejarahnya”. Dan tentu saja, 2 kali saya tampil di TVRI Jogja sangat menyenangkan bagi saya, bahkan saya katakan dengan bangga ‘saya sudah berhasil masuk TV’ (maklum anak kampung).
Moderator @GlobalFM Waingapu
Detik waktu terus berjalan, begitupun cerita tentang titus dan radio., dulu saya hanya pendengar yang ndeso, menjadi penyiar amatiran, reporter dan moderator di GlobalFM Waingapu pada tahun 2014, bahkan narasumber dadakan pada beberapa kesempatan minggu sore pada acara “bertani organik” di radio MaxFM Waingapu.
Ini hanya penggalan cerita singkat, alur ceritanya terkesan lompat-lompat, tapi ini adalah pengalaman dan cerita yang sangat menarik bagi saya, tentang seorang anak kampung yang tidak tahu apa di balik suara radio, hingga menjadi pelaku langsung dari media komunikasi massa yang tetap eksis hingga saat ini, bahkan tetap menjadi pilihan utama sebagai sumber informasi dan hiburan bagi warga Indonesia dan Sumba Timur pada khususnya.

Untuk itu, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi pada cerita ini, saya tidak mampu mencantumkan nama per nama, karena ku tahu, ketika mereka membaca tulisanku ini, hati mereka akan berdetuk bangga dan tersenyum dengan semua ini. Terima kasih, SALAM: T2s_Ray

Jumat, 05 Agustus 2016

Si Pengembara matikan Bara untuk Kembara

“...mungkin saja mereka berpikir bahwa dengan menyulut api, belalang akan pergi dan telurnya habis di makan bara api, karena belalang kembara sudah dua minggu bermukim di padang ini”

Surya sudah sempurna di balik bukit, ketika saya meninggalkan desa katikuwai dalam rangka survey sarana air minum bersama tim teknis PU dan koordinator SPARC Kabupaten  Sumba Timur.

Pada garisan bukit Matawai La Pawu, angin bertiup tanpa terhalang , hingga malam terasa semakin dingin. Pemandangan yang indah di pagi hari telah tertutup kabut, dan senter motor  menuntun mata selalu fokus pada jalanan liku berlubang.

Hmmm, udara tak asing tertangkap oleh penciuman, aroma yang khas di awal musim hujan ketika petani membakar rerumputan mati di kebun. Di sana, di savana yang jauh, garisan merah menyusuri bukitan kecil tersusun.

Semakin dekat, udara malam berubah hangat. Hangatnya itu seakan merayuku tuk sebentar berhenti menyaksikan bara api menghabisi rumput dan ilalang di padang ternak. Ya, tepatnya di RT 8 Menggit, Lai Ndeha., di situlah penulis bertemu seorang pria yang akhirnya ku ketahui berusia 49 tahun. Dengan melilitkan kain sarung ende di pinggangnya, ia memegang segenggam daunan hijau, sambil berjalan mendekati api yang membara, dengan batang dan daun itulah ia berusaha membunuh jago merah. 

Penulis berjalan mendekat dan mengajaknya berbincang-bincang., dari sinilah ku ketahui jika bapak ini bernama Emanuel Manu, lahir di Atambua pada 16 agustus 1967 malam., lalu ibunya meninggal di pagi hari.

Sambil duduk santai di pinggiran jalan, ia menceritakan perjalanan hidupnya yang mengembara dari pulau ke pulau. Diawali sejak bersama ayah angkatnya yang tugas ke bali, yang juga kemudian meninggalkannya untuk kembali kepada sang pencipta. Sepeninggal ayah angkatnya, ia menghabiskan usia muda di rantauan pulau jawa., dan pada tahun 2003 menginjakkan kaki di pulau sumba, hingga pada tahun 2007 secara resmi menjadi warga Desa Lai Ndeha.

Setelah asyik menceritakan perjalanan hidupnya yang mengembara, bapak yang mengaku sudah memiliki 3 kapling tanah di Desa Lai Ndeha ini menceritakan bahwa, kebakaran padang di desa lai ndeha terjadi kira-kira sejak jam 12 siang pada tanggal 5 agustus 2016 wita.

Menurutnya, api tiba-tiba saja muncul dan melahap semua rerumputan, angin dan panas matahari mempersulit pemadaman., apalagi hanya 3 orang dewasa dibantu beberapa anak sekolah yang melakukan pemadaman, bahkan 1 rumah alang hampir saja tersulut api.

Penyebab kebakaran padang tidak diketahui secara pasti, namun ia memperkirakan bahwa “api bisa berasal dari puntung rokok pengendara yang lewat, atau bahkan ada yang sengaja membakar untuk mengusir belalang kembara., mungkin saja mereka berpikir bahwa dengan menyulut api, belalang akan pergi dan telurnya habis di makan bara api, karena belalang kembara sudah 2 minggu tidur di padang ini, sudah pasti telurnya banyak dan jika menetas akan sangat mengkhawatirkan petani.”

Lalu, pertanyaan besarnya adalah apakah membunuh embrio belalang harus dengan bara api?, atau mungkin??? #anda bisa menjawabnya guysJ

Senin, 18 Juli 2016

Belajar dari kearifan lokal petani Humba menangani hama Burung Gagak

"...karena melindungi hasil pertanian tidak harus memusnahkan hama pemangsanya, melainkan memelihara dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem di bumi lestari ini"

Suatu pagi, saya berjalan mengelilingi kebun jagung seorang warga petani di Desa Pambotanjara, Kecamatan Kota Waingapu, Sumba Timur., memotong daun lamtoro untuk makanan ternak kambing adalah tujuan utamaku menyusuri pinggiran kebun jagung, Bapak Stepanus Ndena Nggaba.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh dari posisiku berdiri menatap dedaunan, bapak berusia 42 tahun itu menyapa dengan hangat. “sore pak Umbu, mari masuk kebun cari jagung muda, tapi jagung pulut sudah terlanjur kering,” ujarnya sambil bangkit berdiri.

Dengan santai, saya pun masuk ke uma ndai (rumah jaga/kebun). Mendekat di gubuk itu, saya mendapati tumpukan serabut kelapa dan kain hitam., saya menjadi heran ketika melihat ‘mainan’ yang dibuat oleh orang tua ini, ya mainan itu menyerupai seekor burung lengkap dengan paruk, sayap dan ekor, semuanya berwarna hitam.,

untuk memenuhi rasa penasaran, saya pun bertanya “Bapak, untuk apa ini semua?”

Petani yang juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang daun lontar ini menjelaskan, bahwa “sabut kelapa digunakan untuk membuat rangka burung, sedangkan kain hitam ini untuk membungkus rangkanya, sehingga benar-benar menyerupai burung gagak yang besar., tujuannya agar burung gagak takut. “

Sekedar diketahui, pada musim jagung ke-2 sekarang ini, petani jagung di Desa Pambotanjara sedang diresahkan oleh serangan hama burung gagak. Sesungguhnya, fenomena hama burung gagak di Sumba bukanlah masalah yang baru, bahkan sudah merupakan salah satu istilah yang tak asing bagi orang sumba dengan “pa bohu gagangu”, yang artinya pencuri seperti burung gagak (kiasan untuk pencuri yang mengambil apa saja yang dilihatnya pada orang lain).

Cerita singkat dari praktek baik cara penanganan hama secara tradisional yang dilakukan oleh Bapak Stepanus Ndena Nggaba, sangat menarik untuk dipraktekkan oleh petani lainnya, sehingga tidak menggunakan bahan racun kimia untuk mengusir hama., karena melindungi hasil pertanian tidak harus memusnahkan hama pemangsanya, melainkan memelihara dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem di bumi lestari ini. SALAM HUMBA